BERAWAL dari sebuah kota kecil di sebelah utara Yogyakarta, BPK pertama kali menancapkan peran dan posisinya. Magelang tercatat menjadi titik awal keberadaan sebuah lembaga yang sampai sekarang terus tumbuh dan berkembang menjadi salah satu institusi penting dan strategis di negeri ini.
Di tengah revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, tepat 1 Januari 1947, BPK saat itu resmi berdiri. Melalui SK Presiden RI tanggal 28 Desember 1946 yang terbit sebelumnya, lembaga ini pertama kali dipimpin R. Soerasno. Seorang tokoh yang kemudian juga dipercaya sebagai salah satu delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949. Bersamaan dengan SK Presiden tersebut, diangkat pula Dr. Aboetari sebagai anggota dan Djunaedi sebagai sekretaris. Sebagai ketua, R. Soerasno kemudian juga mengangkat R. Kasirman, Banji, M. Soebardjo, Dendipradja, Rachmad, dan Wiradisastra sebagai pegawai. Jadi, pada awal berdirinya, BPK hanya digawangi dua pimpinan, seorang pejabat eselon I, dan enam pegawai. Dengan kata lain, hanya terdapat sembilan orang yang menjalankan roda tugas BPK waktu itu.
Pada periode awal berdirinya, keberadaan BPK sejatinya dimaksudkan untuk mengambil alih fungsi Algemene Rekenkamer (ARK/Badan Pemeriksa masa kolonial Hindia Belanda). Sebuah lembaga yang dibentuk untuk mengawasi dan memeriksa keuangan pemerintah kolonial saat itu. Berdasar sejumlah ketentuan yang melingkupi Algemene Rekenkamer, posisi BPK berada di luar pengaruh dan kekuasaan eksekutif. Meski demikian, kedudukannya juga tidak kemudian berdiri di atas pemerintah. Selain itu, produk hasil pemeriksaan hanya wajib pula disampaikan ke DPR, yang posisinya saat itu juga tidak lebih tinggi dari BPK.
Namun, kedudukan BPK pada masa awal berdiri tersebut tidak bertahan lama. Seiring pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS 14 Desember 1949, dibentuk lembaga baru bernama Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berkedudukan di Bogor dan R. Soerasno diangkat sebagai ketuanya pada 31 Desember 1949. Sedangkan, posisi BPK yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta hanya menjadi semacam kantor cabang. Situasi tersebut juga tidak lama. Dengan kembalinya bentuk negara menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 17 Agustus 1950, Dewan Pengawas Keuangan RIS digabung dengan BPK. Penggabungan itu dilakukan sejak 1 Oktober 1950, berdasarkan penerapan UUD Sementara (UUDS) 1950 sebagai pengganti UUD 1945. Kedudukan kantor berada di Bogor.
Pada fase perjalanan berikutnya, meski Presiden Soekarno lewat Dekrit Presiden 1959 menegaskan, bahwa konstitusi kembali ke UUD 1945, posisi BPK belumjuga menguat. Ditiadakannya keberadaan Dewan Pengawas Keuangan, tidak serta merta membuat kewenangan BPK pulih. Ujungnya, adalah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 7 Tahun 1963 yang dilanjut dengan keluarnya UU No. 17 Tahun 1965. Dengan ketentuan tersebut BPK ditempatkan berada di bawah presiden sebagai pemimpin besar revolusi. Ketua dan wakil ketua BPK sekaligus berposisi sebagai menteri koordinator dan menteri. Sudah barang tentu, laporan hasil pemeriksaan juga bukan lagi hanya disampaikan ke DPR. Tetapi, juga harus dikirim ke presiden. Singkatnya, di saat masa-masa akhir orde lama tersebut, meski tetap memiliki cakupan tugas yang masih luas, kedudukan BPK tidak lagi setara dengan DPR dan presiden.
Rezim kemudian kembali berubah. Seiring pergantian kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto, pada 1966, pemerintahan baru menganulir UU No. 17 Tahun 1965 tersebut. Sekaligus, memulihkan kedudukan BPK kembali seperti yang telah diamanatkan UUD 1945. Dari sisi kedudukan, lembaga ini kembali menjadi lebih mandiri. Meski demikian, keberadaan UU No. 5 Tahun 1973 sebagai pengganti UU tentang BPK sebelumnya itu, pada kenyataannya mengurangi kewenangan BPK. Bisa dikatakan, meski secara posisi lebih mandiri, BPK belum bisa berdaya secara optimal.
Pada masa itu, BPK tak leluasa memeriksa semua instansi pemerintah. Pemeriksaan keuangan terhadap lembaga-lembaga seperti Pertamina, BUMN, Bank Indonesia, maupun bank-bank plat merah lainnya tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Akses data begitu dibatasi. Secara garis besar, mulai objek, cara atau metode, hingga laporan pemeriksaan BPK dibatasi. Bahkan, bukan hanya laporan yang tidak lagi bisa dipublikasikan secara luas kepada masyarakat, gaya penyusunan laporan pun harus pula disesuaikan. Seperti halnya lembaga negara lainnya termasuk parlemen, kemandirian yang diamanatkan UU No.5 Tahun 1973 ternyata harus tunduk pada kekuatan politis. Dalam hal ini adalah dominasi kekuasaan eksekutif. Dengan kondisi tersebut, tak heran kalau laporan BPK pada masa orde baru relatif tidak dapat menjadi sumber informasi ataupun deteksi dini atas kondisi keuangan negara. Hal itu mengakibatkan para pengambil keputusan juga akhirnya tidak memiliki bahan lengkap guna mengantisipasi berbagai situasi, termasuk terjadinya krisis moneter pada 1997-1998.
Era baru yang diselimuti semangat reformasi akhirnya bergulir. Masa penuh harapan tersebut ditandai dengan kejatuhan kekuasaan Presiden Soeharto yang telah memerintah selama 32 tahun. Bersamaan dengan semangat keterbukaan yang digaungkan di segala bidang itu, semangat reformasi pun turut menjalar ke BPK. Parlemen akhirnya mengamandemen UUD 1945. Pada amandemen Tahun 2001 tersebut, pasal terkait BPK turut diamandemen. Hal itu tergambar dalam Bab VIII (A) tentang BPK pasal 23 (E) ayat 1-3, pasal 23 (F) ayat 1-2, dan pasal 23 (G). Prinsipnya, posisi, dan kedudukan BPK menjadi semakin kuat, bebas, dan mandiri. Sebagai penjabaran tugas dan fungsi BPK sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tersebut, lahir UU No. 15 Tahun 2006 yang menggantikan UU tentang BPK sebelumnya.
Singkatnya, BPK pada era reformasi ini telah menjadi semakin dekat dengan harapan para pendiri bangsa. Yaitu, menjadi lembaga pemeriksa keuangan yang bebas, mandiri, dan profesional. Tentu, sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya membentuk pemerintahan yang bersih dan tata kelola yang baik.